EKOLOGI HAMA PASCAPANEN
PENDAHULUAN
Ekologi serangga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan serangga. Pengetahuan tentang ekologi serangga hama pascapanen merupakan dasar penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). Saat ini, pemodelan dengan komputer untuk pengendalian hama pascapanen telah banyak dikembangkan. Kesemuanya berbasis pada pengetahuan ekologi serangga.
Sifat struktur penyimpanan secara umum adalah kondisinya yang stabil dibandingkan lingkungan alami dan ketersediaan pangan yang melimpah. Karakter penyimpanan ini menguntungkan hama gudang, walaupun adakalanya terjadi kelangkaan sumber makanan. Serangga hama di penyimpanan, terutama hama-hama penting adalah serangga yang telah teradaptasi pada lingkungan penyimpanan dengan baik, karena:
· Habitat penyimpanan merupakan reservoir alaminya
· Toleransinya yang tinggi terhadap faktor fisik di penyimpanan
· Keragaman perilaku makan pada berbagai bahan simpan
· Laju reproduksi yang tinggi
· Kemampuan yang tinggi dalam menemukan lokasi sumber makanan
· Kemampuan bertahan hidup dalam kondisi tanpa pangan
· Adaptasi morfologi (ukuran kecil, bentuk pipih, gerakan cepat dll.)
Studi ekologi yang dilakukan pada kondisi yang mirip dengan tempat penyimpanan lebih berguna untuk mengembangkan program pengendalian. Dengan demikian dapat diperoleh lebih banyak gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan hama pada kondisi nyata.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN DAN KELIMPAHAN HAMA GUDANG
1. SUHU, KADAR AIR BIJI DAN SUMBER MAKANAN
Masa perkembangan, ketahanan hidup dan produksi telur serangga hama pascapanen tergantung pada kesesuaian lingkungan dan makanan. Laju populasi serangga dapat meningkat sebagai hasil dari masa perkembangan yang singkat, ketahanan hidup yang meningkat atau produksi telur yang lebih banyak. Dalam kondisi normal, gudang adalah sumber makanan sehingga permasalahan utama bagi serangga adalah suhu dan kadar air/kelembaban. Walaupun demikian, sebagian besar serangga hama pascapanen dapat hidup pada berbagai bahan simpan dan terdapat variasi kelimpahan serangga pada tiap-tiap bahan simpan
Masa perkembangan
Lama perkembangan rata-rata (dari telur sampai imago) tiga kategori hama pascapanen pada berbagai suhu lingkungan.
Suhu lingkungan dan kadar air bahan simpan merupakan faktor utama yang mempengaruhi masa perkembangan. Pada coleoptera, kadar air lebih dominan pengaruhnya dibanding suhu dan makanan, demikian pula pada lepidoptera.
Lepidoptera pascapanen menghabiskan sebagian besar masa perkembangannya sebagai larva. Stadium larva lepidoptera pascapanen lebih lama daripada larva coleoptera karena nutrisinya digunakan untuk produksi telur. Imago lepidoptera sendiri berumur pendek dan tidak makan. Coleoptera berumur panjang (Cryptolestes, Oryzaephilus, Sitophilus, Tribolium, Rhyzopertha) makan selama periode imago, karena itu dapat memproduksi telur selama hidupnya. Seperti lepidoptera, stadium larva coleoptera berumur pendek (Callosobruchus, Lasioderma, Stegobium) cenderung lebih lama (walaupun tidak selama lepidoptera), akibatnya produksi telurnya pun tidak sebanyak lepidoptera.
Hingga batas tertentu, kenaikan suhu lingkungan meningkatkan aktivitas makan. Hal ini menjelaskan sebagian pengaruh suhu terhadap pemendekan masa perkembangan serangga pascapanen. Fluktuasi suhu harian juga berpengaruh. Serangga yang hidup pada suhu konstan tinggi masa perkembangannya lebih singkat daripada suhu fluktuatif (walaupun dengan rata-rata suhu yang sama tinggi). Sementara itu pada suhu konstan rendah, masa perkembangannya lebih lama dibandingkan suhu fuktuatif dengan rata-rata sama rendah.
Kadar air bahan simpan/kelembaban udara mempengaruhi lama stadium larva,. Kadar air bahan simpan yang rendah memperlama stadium larva, tetapi stadium telur dan pupa tidak terpengaruh sehingga hal ini mengubah keseimbangan struktur umur dalam populasi yang sudah stabil.
Seperti dijelaskan sebelumnya, suhu lingkungan dan kelembaban di penyimpanan bisa saja sebagai sebab atau akibat dari keberadaan hama. Serangga membutuhkan kisaran suhu dan kelembaban optimum untuk perkembangannya. Sementara itu metabolisme serangga juga menghasilkan kalor dan uap air ke lingkungannya. Terakhir, misalnya pada Sitophilus dan Tribolium terdapat variasi masa perkembangan antarindividu yang cukup besar. Keragaman intrinsik seperti ini biasanya menguntungkan secara ekologis.
Ketahanan hidup/survival
Serangga biasanya memiliki kisaran suhu optimum. Sedikit saja di luar kisaran suhu tersebut, terjadi penurunan populasi yang sangat besar Contohnya pada Tribolium, suhu optimum pertumbuhan adalah 25-37.5˚C. Ketahanan hidup akan turun drastis di luar kisaran tersebut. Kematian terbesar terjadi pada larva instar awal. Pola serupa tampaknya terjadi pada spesies Rhyzopertha, Oryzaephilus, Cryptolestes dan Tribolium (coleoptera berumur panjang) .
Kadar air biji berkorelasi positif dengan ketahanan hidup. Kadar air meningkat, kondisi lingkungan makin baik untuk serangga sehingga ketahanan hidupnya pun meningkat. Sebaliknya, ketahanan hidup hama pascapanen menurun bila kadar air biji rendah. Implikasinya, kalaupun pengendalian hama tidak bisa dilakukan dengan menurunkan suhu (pendinginan), pengeringan dan pemanasan dapat pula bermanfaat.
Kematian hama pascapanen pada suhu rendah merupakan fungsi dari laju pendinginan, lama waktu pendinginan, suhu dan spesies. Serangga akan punya
kesempatan menyesuaikan diri (aklimasi) bila laju pendinginan lambat.
Produksi telur
Serangga memerlukan nutrisi yang cukup untuk memproduksi telur. Lepidoptera biasanya mengakumulasi nutrisi pada saat larva, dan memproduksi telur dalam jumlah banyak hanya pada hari-hari pertama menjadi imago. Coleoptera biasanya hidup lebih lama dan memproduksi telur sepanjang hidupnya dalam proporsi yang lebih merata. Dengan demikian, coleoptera berumur panjang membutuhkan nutrisi sepanjang hidupnya.
Peningkatan suhu dan kadar air bahan simpan meningkatkan produksi telur, hanya saja produksi telur tertinggi dan ketahanan hidup tertinggi tidak terjadi pada satu titik suhu atau kadar air yang sama. Pada Tribolium, kombinasi ketahanan hidup dan produksi telur yang menghasilkan tingkat reproduksi maksimum terjadi pada suhu 27 0C dan kadar air 16%.
Sejumlah ngengat diketahui meningkat produksi telurnya bila menemukan sumber air, demikian pula kumbang Dermestes. Callosobruchus juga meningkat produksi telurnya karena nutrisi.
INTERAKSI ANTARINDIVIDU DAN ANTARSPESIES
Intraspesifik (antarindividu)
Interaksi antarindividu dalam satu spesies menentukan distribusi dan kelimpahan serangga. Pada kepadatan populasi rendah, laju pertumbuhan biasanya kecil karena kesulitan untuk menemukan pasangan seksual misalnya. Ketika populasi bertambah, laju pertumbuhan meningkat secara eksponensial karena kelimpahan sumber makanan dan kesesuaian lingkungan. Sejalan dengan pertambahan populasi yang tinggi, terjadi kompetisi/persaingan untuk makan dan perkawinan sehingga menimbulkan efek negatif bagi populasi. Pada spesies tertentu bahkan terjadi kanibalisme terhadap serangga dalam stadium inaktif (telur dan pupa). Walaupun demikian, tekanan populasi seperti ini jarang terjadi karena kecenderungan migrasi bila populasi meningkat. Kompetisi umumnya terjadi pada populasi di penyimpanan yang kosong, sarana transportasi maupun peralatan pengolahan di mana jumlah makanan relatif sedikit.
Interspesifik (antarspesies)
Interaksi antarspesies juga mempengaruhi laju pertumbuhan suatu spesies serangga. Berbagai pola interaksi ditemukan di penyimpanan, yaitu:
· Suksesi, yaitu pergantian dominansi spesies pada pernyimpanan kerena perubahan lingkungan dan sumber makanan. Pada saat awal yang dominan adalah hama primer, kemudian digantikan hama sekunder, selanjutnya mungkin serangga pemakan cendawan atau sisa-sisa.
· Kompetisi, terjadi bila dua spesies hama memiliki relung ekologis yang sama (bandingkan dengan suksesi dimana masing-masing spesies memiliki peran berbeda.)
· Predasi, bisa oleh spesies predator (misal kepik Xylocoris sp.) atau spesies hama yang menjadi karnivor fakultatif pada kondisi ekstrim.
· Parasitisme, kebanyakan Hymenoptera famili Trichogrammatidae, Bethylidae, dan Pteromalidae menjadi parasitoid hama gudang. Termasuk parasitisme adalah serangan mikroorganisme seperti protozoa, bakteri dan cendawan entomophaga penyakit terhadap hama pascapanen